Jumat, 26 September 2008

Lonceng Kehidupan Bagi Sekolah Di Indonesia



Opini pribadi

Lonceng Kehidupan Bagi Sekolah

Tulisan fisikawan-etikawan Liek Wilardjo (Kompas, 11/9/2008) perihal ”sudah saatnya kita mempunyai konsep pendidikan nasional yang jelas” perlu dicermati sedalam-dalamnya. Bangsa kita sudah terlalu lama berada dalam kubangan masalah pendidikan yang tiada ujung pangkal. Kita memiliki kaum intelektual yang cerdas dan berkarakter mulia. Persoalan pendidikan di negeri ini harus segera dibenahi jika kita ingin berkembang menjadi negara unggul.

Aspek filosofis mendasar yang patut kita renungkan bersama adalah konsep pendidikan yang jelas. Semua ahli pendidikan akan sepakat bahwa pendidikan bertujuan untuk memanusiawikan manusia. Hidup manusia dibangun, karakter dibentuk dan kebahagiaan diwujudkan. Pendidikan harusnya meningkatkan mutu kehidupan.

Tapi ada dua aspek yang telah lama hilang dari sistem pendidikan kita. Pertama, semangat belajar yang menyenangkan (learning is fun) dan metode evaluasi belajar yang adil. Pembenahan kedua aspek ini akan meningkatkan mutu pendidikan anak Indonesia.

Secara etimologis, kata sekolah berasal dari bahasa Yunani kuno, “scholea,” artinya: menyenangkan. Sekolah seharusnya menjadi rumah belajar yang menyenangkan bagi anak. Mengapa demikian? Karena bagi anak, belajar adalah bermain dan bermain adalah belajar. Betapa banyak anak-anak Indonesia yang kehilangan keceriaan akibat beban belajar yang menumpuk di sekolah. Bukan rahasia umum bahwa semakin besar usia seorang anak, semakin besar pula rasa enggan bersekolah.

Belajar yang menyenangkan tetap berlandaskan disiplin dan kreativitas. Gordon Dryden & Jeannette Vos (2001) dalam buku Revolusi Cara Belajar mengungkapkan bahwa setiap anak memiliki potensi belajar yang besar sekali. Dalam suasana yang rileks dan menyenangkan, misalnya dengan iringan musik, prestasi belajar anak dapat ditingkatkan.

Permasalahannya sekarang, setiap anak unik. Maka, mereka perlu bimbingan kasih para guru dan orang tua yang penuh pengertian dan kreatif. Sistem pendidikan kita telah mengabaikan potensi individual. Proses belajar mengajar diseragamkan dalam hal materi dan teknik. Tidak mengherankan, para lulusan sekolah Indonesia cenderung memiliki “kemampuan” yang seragam. Kita mengabaikan perbedaan bakat dan minat anak didik kita.

Hati nurani saya menjerit tatkala suatu saya melihat seorang rekan yang mengajar dengan gaya diktator. Semua murid diam tak bergeming saat belajar bersamanya. Orang tua memuji sang guru dan guru dengan bangga membusungkan dada atas “kekuasaannya.” Memang disiplin sangat penting dalam proses belajar. Tetapi menerapkan satu gaya belajar untuk semua anak sama dengan membunuh kreativitas dan memandulkan inovasi. Tidak ada ruang untuk bertanya, bernegosiasi bahkan diskusi.

Belajar bukanlah proses pemindahan pengetahuan semata. Belajar seharusnya menjadi usaha sadar dari dalam diri anak untuk menggali dan menemukan cita-cita sesuai dengan bakat dan minatnya. Betap banyak anak Indonesia yang berangkat ke sekolah tanpa memiliki tujuan yang jelas. Betapa banyak yang bahkan sama sekali tidak mengetahui mengapa dia harus ke sekolah.

Kesadaran akan pentingnya pemahaman individual dan penyelarasan antara bakat dan minat telah mendorong sejumlah sekolah menerapkan metode berbasis kreativitas. Bahkan homeschooling dan sekolah alam semakin banyak digemari oleh para orang tua, meski dengan biaya relatif lebih tinggi dari sekolah umum.

Proses belajar yang menyenangkan hanya dapat terwujud bila para guru mengajar dengan penuh kreativitas. Kreativitas dapat terwujud dengan biaya rendah, misalnya memanfaatkan bahan daur ulang sebagai alat paraga.

Di sisi lain, dukugan pemerintah amat diperlukan demi terciptanya suasana belajar yang kondusif. Aspek-aspek yang dinilai dalam sistem UN sebagian besar hanya mencakup kecerdasan linguistik terbatas, logika dan matematika. Aspek kerja sama, ilmu terapan, karakter, kreativitas dan cinta ilmu pengetahuan kurang dievaluasi.

Sistem UN hanya akan membuat anak didik belajar materi yang akan diujikan. Hal ini mematikan esensi belajar itu sendiri: memanusiawikan manusia. Manusia diproses seperti robot hasil produksi. Nyaris tidak ada ruang untuk berekspresi dan mengembangakn pengetahuan baru. Semuanya pengetahuan sudah baku dalam wujud tes UN. Tidak ada ruang untuk mencipta dan memperbaharui ilmu.

Singapura telah lama menyadari hal ini. Sejak tahun 1996, pemerintah Singapura telah mengalokasikan miliaran Dolar untuk pengembangan pendidikan, meliputi perpustakaan berbasis internet, guru yang bermutu dan jalur pendidikan yang adil. Seorang anak yang gemar bermain sepak bola dapat belajar di akademi pendidikan sepak bola. Prestasi akademik tetap diutamakan, tetapi dengan spesialisasi menjadi atlet profesional. Demikian pula dengan anak-anak yang berbakat di bidang sains, musik, sastra dan sejenisnya. Pemerintah menjamin hak asasi setiap warga Singapura untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.

Pendidikan di Indonesia terus menciptakan beban sosial—alih-alih kekuatan transformatif masyarakat. Oleh kita harus bersatu membangun dunia pendidikan kita. Indonesia harus bangkit dan menunjukkan jati dirinya yang telah lama tergerus oleh budaya korupsi dan kemandulan karakter. Masa depan anak-anak kita dipertaruhkan demi menggapai masa depan yang lebih baik. Pendidikan yang bermutu adalah satu solusi yang terbaik.

Referensi:

Gordon Dryden & Jeannette Vos (2001). Revolusi Cara Belajar. Kaifa: Bandung

Henri Lois, S. Psi

Konselor psikologi Asteros dan terapi anak berkebutuhan khusus

Tidak ada komentar: